“Tut”, suara sms melesetkan pukulanku, bolaku menyentuh bola 9 terlalu pelan dan menyudut. Upsss … mukaku merengut. Sudah seminggu ...
“Tut”, suara sms melesetkan
pukulanku, bolaku menyentuh bola 9 terlalu pelan dan menyudut. Upsss … mukaku merengut. Sudah seminggu ini aku
kehilangan konsentrasi latihan, waktuku sedikit tersita dengan urusan kantor
yang mulai beruntun di awal tahun ini. Bang Tino, pelatihku, ikut merengut.
“Ayo Ra, konsen dikit, kejar tayang ni, saingan tambah kuat
…”
“Iya Bang.” tanganku meraih saku belakang, kubuka telepon.
Satu nama di inbox membuatku
penasaran. Tumben, pikirku.
“Apa kabar Mbak ?” tertulis disitu, singkat, padat, dan hambar.
“Baik Mas.” Singkat pula balasanku. Kumasukan kembali teleponku,
jujur aku tak mengharapkan balasnya lagi.
“Matikan dulu teleponnya, Ra” ujar Bang Tino.
“Jangan Bang, bos besar paling ga suka teleponku mati”
jawabku sambil tertawa kecil. Bang Tino memasang bola 9 dengan rapi di mejaku,
dan memintaku untuk persiapan break. Satu set kuakhiri dengan sempurna.
“Coba partner sama
Eko, biar lebih panas ya Ra.” Aku mengangguk. Eko adalah salah satu member di
FX Bilyar, cukup bagus mainnya, rapi dan tenang. Ketenanganya yang kadang bikin
aku sedikit nervous. Eko mengambil stik break disebelahku, dengan
senyum dia menggodaku, “Mba, waktunya cuma sepuluh menit.”
“Break dulu lah
Ko, abis itu bagianku.” Jawabku sambil
mengepalkan tangan. Eko tertawa.
Persiapan kejuaran “Kartini” tahun ini memerlukan latihan dengan
jadwal yang ketat dan konsentrasi yang lebih tinggi, waktu tinggal tersisa dua
bulan lagi. Di sela latihan masih ada beberapa turnamen yang harus kuikuti. Cukup
padat sebenarnya, tapi aku punya target di kejuaraan mendatang, sebagai ajang bergengsi
kejuaraan bilyar wanita nasional yang diadakan satu tahun sekali, seperti tahun lalu, bisa masuk di 10 besar dengan perjuangan
segenap jiwa.
“Tut” teleponku berbunyi lagi. Tak kuacuhkan, bos besar
tidak akan SMS, mataku asyik memperhatikan bola-bola di atas meja hasil
sisa-sisa pukulan Eko, empat bola lagi.
“Bagian Gue ya, kau duduk manis dulu, biar kuhabiskan.” ujarku
seraya tertawa.
“Iya Mbak, sisain 9 nya saja.” ledek Eko.
“No way.” Jawabku.
Kuhabiskan bola-bola di meja dengan cepat, Bang Tino
tersenyum lebar. Jam menunjukkn pukul 21.30, kubereskan stikku. Seharusnya
latihan berakhir 22.30, tapi aku harus segera pulang, ada beberapa bahan
presentasi yang harus aku selesaikan malam ini, untuk bahan rapat besok pagi.
“Lanjut besok Bang, agak awal ya, aku bisa keluar kantor
jam 4, jadi di sini jam 5 bisa mulai.”
“Ok, jangan lupa bawa chuck
mu besok.”
Aku menganggguk. Aku meraih gelas minuman di meja sampingku
sambil membuka telepon. Pesan, dari nama yang sama. Penasaran.
“Mbak, Angga dan keluarga besar mengucapkan terima kasih
atas semua bantuan mbak kepada kami selama ini , terutama kepada Bapak.” Alisku
naik, ada apa ?
Kutekan reply dan
kuketik : “Sama-sama Mas. Kok tumben, ada apa ?”
“Bang, aku balik dulu, sampai jumpa besok.” teriakku pada
Bang Tino di pojok cafe. Bang Tino
melambaikan tangan, aku melangkah ke pintu keluar dengan tas di punggungku dan
stikku.
Hatiku masih bertanya-tanya tentang SMS Angga. Ada apa
gerangan ? Aku tak cukup mengenal Angga sebagaimana aku mengenal kakak dan
adik-adiknya. Mereka adalah anak dari Pak Bambang, sahabat ayahku. Ada beberapa pekerjaan Pak Bambang yang
sempat aku selesaikan, menurutku biasa saja. Hubunganku dengan keluarga besar Pak
Bambang sangat baik. Angga tidak begitu aku kenal karena dia sekolah di luar kota, pertama
kali aku melihatnya di saat Angga dewasa adalah sewaktu Angga akan
melangsungkan pertunangan beberapa tahun yang lalu, setelah Angga menyelesaikan
kuliah S1nya. Dalam acara tersebut, memang aku membantu mereka dari segi
pikiran dan tenaga. Tapi, rasanya itu juga biasa-biasa saja.
Kubuka pintu apartemen, dan menguncinya kembali. Kurebahkan sejenak badan di sofa panjang di
ruang tamu. Badanku terasa lelah. Dalam kondisi seperti inilah kadang aku
berpikir aku perlu orang yang menemani di apartemenku. Terbayang jika pulang
ada yang menyiapkan makan malam, tidak usah memikirkan laundry, bersih-bersih
dan lain-lain. Tapi dengan begini, aku seakan belajar mendisiplinkan diri,
terutama waktu. Ah pusing aku memikirkannya.
Teleponku berbunyi lagi. SMS. Segera kuambil telepon dari
tasku dan kubaca … “Mungkin buat Mbak tidak ada artinya, tapi buat kami,
terutama aku, semuanya sangat berarti. Banyak cerita yang disampaikan dari Mas
Widi juga dari adik-adik tentang Mbak, semuanya tidak pernah terpikirkan
sebelumnya olehku.”
Pikiranku melayang pada keluarga Pak Bambang, aku mencoba
membuka semua memori ingatanku, apa yang pernah aku lakukan pada mereka. Ayah
dan Ibu memberiku satu pelajaran dari kecil, “bantulah orang-orang yang menurutmu
perlu dibantu dan orang-orang yang meminta bantuanmu, selama kamu mampu, dan
jangan kau mengingat apa yang telah kau berikan kepada mereka, sebesar apapun
bantuanmu.” Mungkin inilah yang
membuatku tidak berupaya mengingat apa yang telah aku lakukan kepada mereka
sehingga kini aku harus menguras ingatanku untuk mengingatnya. Kuhela nafas
panjang, ketika aku mulai mengingatnya satu per satu, mungkin itulah yang Mas
Widi ceritakan atau siapapun yang menceritakan kepada Angga. Aku tidak ingin mengkonfirmasi
tentang ingatanku kepada Angga.
“Hanya itu yang bisa aku lakukan Mas, insya allah ada
hikmahnya kelak.” Reply.
Sejak Angga pulang ke rumah Pak Bambang, sedikitnya aku
mulai mengenalnya, tidak terlalu dekat. Angga dikenal lebih pendiam di antara kakak dan adik-adiknya. Usianya lebih muda
satu tahun dariku. Sikapnya dingin dan kaku, termasuk senyumnya. J sehingga komunikasiku
dengan Angga hanya sepintas lalu, meskipun lima tahun dia sudah kembali ke
rumah.
“Insya allah Mbak, Angga sayang Mbak, juga keluarga.”
Keningku berkerut.
“Mbak sayang Mas dan keluarga, met istirahat ya” replyku dengan beribu pertanyaan yang
muncul di kepala. Sengaja kuputuskan pembicaraanku, aku cukup lelah hari ini,
pekerjaanku masih menunggu di atas meja kerja kecilku.
“Met istirahat, Mbak.”
****
“Bu, telepon dari
Mas Angga, di line 1” terdengar suara
Saly dari intercom di ruanganku berbunyi.
“Angga mana ?” teriakku.
“Angga Bapak.”
Kuangkat telepon dan kuucap salam.
“Angga Mbak.”
“Iya Mas, ada yang bisa aku bantu.”
“Bapak minta aku datang rapat hari ini, jadi jam 2 ?”
“Jadi Mas, nanti bahannya aku siapkan ya.”
“Makasih Mbak.”
Kututup telepon, tanganku tiba-tiba meraih telepon di saku
blazerku, ada penasaran apakah Angga menghubungiku ? Duh, kenapa aku jadi berpikiran
seperti ini. Tiga pesan di inboxku,
dari Angga.
“Pagi Mbak..”
“Sudah di kantor ? Aku mau bicara.”
“Sibuk hari ini ?”
Kuhela nafas panjang…
Sejak dulu, Pak Bambang tidak pernah melibatkan
anak-anak dalam bisnis-bisnisnya, apalagi agenda rapat jam 2 tidak ada
hubungannya sama sekali dengan bidang Angga. Angga lulusan Teknik Sipil di
salah satu universitas di Jawa Timur dan bekerja di salah satu kantor konsultan
terkenal, dan agenda rapat hari ini adalah pembahasan tentang kontrak ekspor.
Mungkin Angga hanya dampingi Pak Bambang … Atau Pak Bambang sedang memulai
untuk melibatkan anak-anak dalam bisnisnya ? Aku mencoba untuk tidak peduli.
Angga datang dengan kemeja batik coklat muda, badannya yang
tegap menunjukkan kewibawaan, raut mukanya “dingin”, bisa dibilang acuh.
Sapaannya kepada staf di kantor kurang ramah di banding ke Mas Widi. Jauh
malah. Basa basinya benar-benar basa basi. Ini ciri khas yang diberikan Angga
kepada sekeliling.
Rapat dimulai jam 14.15, peserta hadir lengkap, meja rapat berbentuk
oval dan Angga memilih kursi tepat disebrangku, tepat didepanku. Entahlah, tiba-tiba perasaanku menjadi tidak
menentu. Seringkali tatapanku bertemu dengan tatapan Angga dan membuatku salah
tingkah, seringkali kulihat dengan dengan sudut mataku, bagaimana Angga mencuri
pandang dan memperhatikanku…. Tak pernah Angga memberikan pendapat apapun dalam
rapat atas semua yang aku sampaikan, hanya tatapan tajam yang aku terima setiap
aku berbicara. Rasanya aku ingin segera mengakhir rapat ini.
<!--[if gte mso 9]>
<![endif]
#Cerita
ini disadur dari Catatan Harian Seorang Sahabat (CHSS)
Bersambung ....
COMMENTS